Selasa, 07 Oktober 2014

Cerpen : "Cerita Si Plastik"

Terima kasih sudah berkunjung di blog Quina.
Kali ini saya memposting sebuah cerpen *lagi. Karya Quina Fathonah *Ys, she's me*. Cerpen ini adalah cerpen yang aku kirimkan untuk perwakilan angkatan (dua karya/angkatan, satu karya yang lain milik temanku) pada lomba PORSIP (Pekan Olahraga, Seni dan Ilmu Pengetahuan) 2014. Meskipun ini PORSIP keduaku (bagi angkatan aku), inilah pertama kalinya aku berpartisipasi dalam ajang PORSIP. Dengan mengirimkan cerpen ini, Alhamdulillah menambah satu emas untuk angkatan. Meskipun bukan atas nama pribadi, aku tetap senang karena yaaa, orang lain juga tau rasanyalah. Hehe...
Setelah mendapat informasi cerpenku mendapat emas, aku bercerita ke mama, "Ma, cerpen dede dapet emas." Mama menjawab, "emas yang berapa karat?" Duuuh aku bingun kenapa malah tanya soal karat, "itu ma, emas-emasan, emasnya bentuknya daun dari kertas metalik." Dan mama pun sedikit kecewa, "Yah mama kira dapet kalung atau anting gitu."
Nah, oke ceritanya udahan. Sekarang dibaca cerpennya ya :) *meskipun rada panjang*

"Cerita Si Plastik”
Karya : Quina Fathonah
Aku hasil ekstrasi minyak bumi. Orang-orang menyebutku Polietilena Tereflatat atau mereka biasa menyingkat namaku menjadi PET. Dari proses ekstrasi tersebut bukan hanya aku yang keluar, tapi juga emisi gas rumah kaca yang merusak habitat dan racun ke lingkungan. Tetapi hanya aku yang dimanfaatkan oleh mereka, yang lainnya dibuang begitu saja ke lingkungan, sungguh jahat mereka.

Sehari setelahnya, aku dibawa ke tempat penyulingan. Namaku berubah menjadi Biji Plastik. Aku dipanaskan. Sungguh, ini benar-benar panas, mereka bilang suhunya 400 deajat celcius. Aku meleleh. Mungkin aku tak sadarkan diri sampai akhirnya aku dibekukan. Wujudku berubah.
Di antara kebisingan pabrik ini, ruang dalam tubuhku ditumpahi cairan kental berwarna merah muda. Baunya menyengat. Lalu aku diangkut ke dalam truk besar. Pintunya ditutup, dan gelap. Aku tidak tahu akan dibawa kemana.

Aku masuk toko. Cukup lama aku menginap di toko ini, sampai akhirnya seorang kakek tua membawaku ke rumahnya. Kakek itu memintaku dengan sebutan cat. Kakek itu membuka tutup tubuhku, lalu mengoleskan cairan yang menginap dalam tubuhku ke tembok.

“Kakek, catnya bagus warna merah jambu.” Teriak seorang anak kepada kakek tua yang tadi membawaku. Aku kira namaku Cat, tapi ternyata cat itu cairan yang menginap dalam tubuhku. Aku sedikit kecewa, aku tak punya nama.

“Kek, nanti ember catnya jangan dibuang ya!” pinta seorang nenek kepada kakek tua. Aku mulai berpikir, mungkin namaku Ember Cat. Senyumku kembali mengembang.

Aku disimpan bersama si Cat di gudang. Dikeluarkan setahun sekali. Setelah tiga tahun, Cat sudah ada di tembok semua. Aku sendiri. Kakek itu mengisi tubuhku dengan tanah sebagai media pohon mangga. Gatal, sungguh gatal. Aku hanya dapat bertahan tiga tahun, akar pohon mangga merusak tubuhku. Lalu si nenek membuangku ke tempat sampah.

Kini aku rusak, sakit sekali. Aku bersama sampah-sampah yang bau. Aku diangkut lagi dengan truk sampah. Ternyata sampah di rumah kakek belum seberapa, di sini aku melihat gunung sampah. Mengerikan sekali. Tapi sungguh, aku tak mau tinggal di sini. Walaupun di sini banyak teman, aku tetap tidak mau tinggal.

Setelah berhari-hari aku menahan sesak, sedih, sakit, akhirnya ada seorang Ibu dengan bayinya membawaku ke gerobaknya. Dia membersihkan aku dan teman-teman yang lain. Sungguh baik hati si Ibu ini. Lalu dia pergi ke suatu tempat, dan menukar kami dengan uang.

Mesin pencacah. Mereka membuatku seperti beras dengan mesin ini. Tubuhku dipotong-potong. Sungguh ini sangat sakit. Benar-benar sangat sakit, sampai akhirnya aku berontak. Saat separuh dari tubuhku sudah seperti biji beras, mesin itu mati. Ini lebih sakit, tertahan di mesin itu. Orang-orang itu memperbaiki mesinnya. Tuhan, tolong bantulah mereka agar mesin ini kembali bekerja, agar aku tak merasakan kesakitan lagi. Aku tahu, setelah ini pasti akan ada ujian lagi, namun aku selalu berharap agar kehidupanku berakhir saja, itu kuasa-Mu.

Setelah setengah jam mereka memperbaiki mesinya, separuh tubuhku yang belum tercacah dipotong-potong lagi. Sakit lagi. Aku diangkut lagi. Sepertinya aku mengenali tempat ini, iya ini tempat yang mengubah namaku menjadi Biji Plastik. Jika jalan hidupku harus seperti ini, aku terima.

Benar saja, aku dilelehkan dan menjadi biji plastik. Aku dilelehkan lagi, seperti fase kehidupanku yang dulu. Namun kali ini bentukku lebih kecil. Kali ini aku disterilkan dulu. Lalu, cairan hijau itu memasuki tubuhku. Cairannya sedikit berbeda dengan cairan merah jambu, yang ini berbau buah. Sekarang aku tidak punya pasangan tutup, tapi mereka menutupku dengan plastik yang mudah sobek. Aku dimasukkan ke dalam kardus. Dan diangkut lagi entah kemana.

Setelah berbulan-bulan menginap di kardus yang gelap, aku ditempatkan di lemari pendingin. Lalu ada seorang remaja mengambilku, dan merobek plastik di atasku, lalu memasukkan cairan ke dalam mulutnya. Setengah isinya tidak dia habiskan, dia membuang aku dan si cairan begitu saja ke trotoar jalan.

Sungguh malas sekali manusia itu. Membuangku ke tempat sampah saja tidak bisa. Menggunakan aku hanya beberapa saat saja, lantas menganggapku sampah. Padahal aku masih bisa digunakan. Lihatlah pengamen jalanan itu, mengaitkan temanku di gitarnya sebagai wadah receh upah menyanyi. Lihatlah anak kecil itu, menjadikan aku temannya yang menarik, mengubah temanku menjadi kincir-kincir. Lihatlah ibu penjual kopi itu, dia menjadikan temanku tempat minum. Dan lihatlah pemulung itu, pemulung? Pak di sini, Pak! Sekencang-kencangnya aku berteriak mereka tak akan mendengarku. Namun malang nasib si Bapak, ketika hendak menyebrang dia terserempet motor. Jadilah aku tetap di sini, di trotoar yang amat panas.

Sore harinya, hujan turun sangat lebat, petir menggelegar di sana-sini. Air yang jatuh dari langit menyeretku jatuh ke gorong-gorong. Baunya sangat tidak enak. Di sini aku bertemu dengan banyak sampah, sampai akhirnya kami tersangkut dan menumpuk di salah satu sudut gorong-gorong. Gorong-gorong penuh dengan air dan sampah, sepertinya air sudah meluap ke jalanan. Dari sini aku dapat mendengar suara klakson mobil dan motor yang sangat berisik.

“Itu tuh sampah di got membuat banjir!” Enak saja si Bapak berjas itu menyalahkan kami. Jelas-jelas manusia itu yang membuang-buang sampah seenaknya. Mereka kira mereka itu manusia sempurna yang tidak pernah punya salah, smpai menyalahkan lingkungan seenaknya.

Aku terus terombang-ambing di derasnya aliran gorong-gorong. Sampai melaut di sungai sampah ini. Aku mengikuti aliran sampah ini. Aku bau, kotor, dan orang pasti tak akan mau mengambilku. Aku tersangkut rumput di bibir sungai yang kotor ini.

Seorang anak laki-laki perlahan-lahan mendekatiku, langkahnya sangat berhati-hati, takut terperosok di sungai yang bau  dan kotor ini. Dia mengangkatku dan membuang air yang mengisi tubuhku. Dia menjadikan aku kincir-kincir.

Hanya satu jam dia memainkan aku, lantas dia menyimpanku di samping televisi hitam putih di rumahnya. Aku mengamati sekelilingku. Tembok papan, lantai semen, berantakan. Tapi aku bahagia di sini, taka da kesakitan lagi, yang ada hanya sepi.

Kadang separuh hatiku menyukai tempat ini, namun separuh yang lain ingin kembali ke gorong-gorong yang bau itu. Aku hanya dipajang di sini. Hanya dipajang. Apakah aku akan berakhir menjadi sebuah pajangan?
Satu tahun, dua tahun berlalu. Aku tetap di sini, berdebu, tidak pernah dilirik atau disentuh. Sepi. Aku kesepian. Di malam yang senyap aku mendengar suara kayu terbakar. Rumah ini kebakaran, entah apa penyebabnya. Si kecil sang penyelamatku hangus terbakar. Aku juga terbakar. Meleleh lagi. Menjadi si hitam kecil yang tidak berguna. Tergeletak di antara benda-benda hitam. Ternyata kebakaran malam tadi menghanguskan seisi rumah.

Aku hitam. Aku kecil. Aku tidak berguna lagi. Jadilah aku si hitam kecil yang tidak berguna. Inilah garis kehidupan yang diguratkan Tuhan kepadaku. Hidup tergantung lingkungan. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Berbeda dengan manusia, hidup sesuai kemauan dan kepercayaan.

Aku si hitam kecil yang tidak berguna. Seandainya aku bisa memilih ingin diciptakan jadi apa. Aku ingin menjadi bunga edelweis. Seandainya aku bisa memilih hidup seperti apa. Aku ingin hidup seperti berlian. Seandainya aku bisa memilih akan akhir hidupku seperti apa. Aku ingin akhir hidupku sampai hari kiamat.
Aku si hitam kecil yang tidak berguna. Dalam hidup ini banyak pilihan, namun sayang aku tak bisa memilih. Dalam hidup ini banya ujian, namun ujian hidupku terlalu menyakitkan. Dalam hidup ini banyak kebahagian yang diberikan Tuhan, namun sayang kebahagian yang aku terima hanya 1% dari kehidupanku.


Aku dulu polietilena tereflatat, dan akhir hidupku menjadi si hitam kecil yang tidak berguna.

2 komentar: