Kali ini saya memposting sebuah cerpen *lagi. Karya Quina Fathonah *Ys, she's me*. Cerpen ini adalah cerpen yang aku kirimkan untuk perwakilan angkatan (dua karya/angkatan, satu karya yang lain milik temanku) pada lomba PORSIP (Pekan Olahraga, Seni dan Ilmu Pengetahuan) 2014. Meskipun ini PORSIP keduaku (bagi angkatan aku), inilah pertama kalinya aku berpartisipasi dalam ajang PORSIP. Dengan mengirimkan cerpen ini, Alhamdulillah menambah satu emas untuk angkatan. Meskipun bukan atas nama pribadi, aku tetap senang karena yaaa, orang lain juga tau rasanyalah. Hehe...
Setelah mendapat informasi cerpenku mendapat emas, aku bercerita ke mama, "Ma, cerpen dede dapet emas." Mama menjawab, "emas yang berapa karat?" Duuuh aku bingun kenapa malah tanya soal karat, "itu ma, emas-emasan, emasnya bentuknya daun dari kertas metalik." Dan mama pun sedikit kecewa, "Yah mama kira dapet kalung atau anting gitu."
Nah, oke ceritanya udahan. Sekarang dibaca cerpennya ya :) *meskipun rada panjang*
"Cerita
Si Plastik”
Karya : Quina Fathonah
Aku hasil ekstrasi minyak bumi. Orang-orang
menyebutku Polietilena Tereflatat atau mereka biasa menyingkat namaku menjadi
PET. Dari proses ekstrasi tersebut bukan hanya aku yang keluar, tapi juga emisi
gas rumah kaca yang merusak habitat dan racun ke lingkungan. Tetapi hanya aku
yang dimanfaatkan oleh mereka, yang lainnya dibuang begitu saja ke lingkungan,
sungguh jahat mereka.
Sehari setelahnya, aku dibawa ke tempat
penyulingan. Namaku berubah menjadi Biji Plastik. Aku dipanaskan. Sungguh, ini
benar-benar panas, mereka bilang suhunya 400 deajat celcius. Aku meleleh.
Mungkin aku tak sadarkan diri sampai akhirnya aku dibekukan. Wujudku berubah.
Di antara kebisingan pabrik ini, ruang dalam
tubuhku ditumpahi cairan kental berwarna merah muda. Baunya menyengat. Lalu aku
diangkut ke dalam truk besar. Pintunya ditutup, dan gelap. Aku tidak tahu akan
dibawa kemana.
Aku masuk toko. Cukup lama aku menginap di toko
ini, sampai akhirnya seorang kakek tua membawaku ke rumahnya. Kakek itu
memintaku dengan sebutan cat. Kakek itu membuka tutup tubuhku, lalu mengoleskan
cairan yang menginap dalam tubuhku ke tembok.
“Kakek, catnya bagus warna merah jambu.” Teriak
seorang anak kepada kakek tua yang tadi membawaku. Aku kira namaku Cat, tapi
ternyata cat itu cairan yang menginap dalam tubuhku. Aku sedikit kecewa, aku
tak punya nama.
“Kek, nanti ember catnya jangan dibuang ya!”
pinta seorang nenek kepada kakek tua. Aku mulai berpikir, mungkin namaku Ember
Cat. Senyumku kembali mengembang.
Aku disimpan bersama si Cat di gudang.
Dikeluarkan setahun sekali. Setelah tiga tahun, Cat sudah ada di tembok semua.
Aku sendiri. Kakek itu mengisi tubuhku dengan tanah sebagai media pohon mangga.
Gatal, sungguh gatal. Aku hanya dapat bertahan tiga tahun, akar pohon mangga
merusak tubuhku. Lalu si nenek membuangku ke tempat sampah.
Kini aku rusak, sakit sekali. Aku bersama
sampah-sampah yang bau. Aku diangkut lagi dengan truk sampah. Ternyata sampah
di rumah kakek belum seberapa, di sini aku melihat gunung sampah. Mengerikan
sekali. Tapi sungguh, aku tak mau tinggal di sini. Walaupun di sini banyak
teman, aku tetap tidak mau tinggal.
Setelah berhari-hari aku menahan sesak, sedih,
sakit, akhirnya ada seorang Ibu dengan bayinya membawaku ke gerobaknya. Dia membersihkan
aku dan teman-teman yang lain. Sungguh baik hati si Ibu ini. Lalu dia pergi ke
suatu tempat, dan menukar kami dengan uang.
Mesin pencacah. Mereka membuatku seperti beras
dengan mesin ini. Tubuhku dipotong-potong. Sungguh ini sangat sakit. Benar-benar
sangat sakit, sampai akhirnya aku berontak. Saat separuh dari tubuhku sudah
seperti biji beras, mesin itu mati. Ini lebih sakit, tertahan di mesin itu.
Orang-orang itu memperbaiki mesinnya. Tuhan, tolong bantulah mereka agar mesin
ini kembali bekerja, agar aku tak merasakan kesakitan lagi. Aku tahu, setelah
ini pasti akan ada ujian lagi, namun aku selalu berharap agar kehidupanku
berakhir saja, itu kuasa-Mu.
Setelah setengah jam mereka memperbaiki mesinya,
separuh tubuhku yang belum tercacah dipotong-potong lagi. Sakit lagi. Aku
diangkut lagi. Sepertinya aku mengenali tempat ini, iya ini tempat yang
mengubah namaku menjadi Biji Plastik. Jika jalan hidupku harus seperti ini, aku
terima.
Benar saja, aku dilelehkan dan menjadi biji
plastik. Aku dilelehkan lagi, seperti fase kehidupanku yang dulu. Namun kali
ini bentukku lebih kecil. Kali ini aku disterilkan dulu. Lalu, cairan hijau itu
memasuki tubuhku. Cairannya sedikit berbeda dengan cairan merah jambu, yang ini
berbau buah. Sekarang aku tidak punya pasangan tutup, tapi mereka menutupku
dengan plastik yang mudah sobek. Aku dimasukkan ke dalam kardus. Dan diangkut
lagi entah kemana.
Setelah berbulan-bulan menginap di kardus yang
gelap, aku ditempatkan di lemari pendingin. Lalu ada seorang remaja mengambilku,
dan merobek plastik di atasku, lalu memasukkan cairan ke dalam mulutnya.
Setengah isinya tidak dia habiskan, dia membuang aku dan si cairan begitu saja
ke trotoar jalan.
Sungguh malas sekali manusia itu. Membuangku ke
tempat sampah saja tidak bisa. Menggunakan aku hanya beberapa saat saja, lantas
menganggapku sampah. Padahal aku masih bisa digunakan. Lihatlah pengamen
jalanan itu, mengaitkan temanku di gitarnya sebagai wadah receh upah menyanyi.
Lihatlah anak kecil itu, menjadikan aku temannya yang menarik, mengubah temanku
menjadi kincir-kincir. Lihatlah ibu penjual kopi itu, dia menjadikan temanku
tempat minum. Dan lihatlah pemulung itu, pemulung? Pak di sini, Pak!
Sekencang-kencangnya aku berteriak mereka tak akan mendengarku. Namun malang
nasib si Bapak, ketika hendak menyebrang dia terserempet motor. Jadilah aku
tetap di sini, di trotoar yang amat panas.
Sore harinya, hujan turun sangat lebat, petir
menggelegar di sana-sini. Air yang jatuh dari langit menyeretku jatuh ke
gorong-gorong. Baunya sangat tidak enak. Di sini aku bertemu dengan banyak
sampah, sampai akhirnya kami tersangkut dan menumpuk di salah satu sudut
gorong-gorong. Gorong-gorong penuh dengan air dan sampah, sepertinya air sudah
meluap ke jalanan. Dari sini aku dapat mendengar suara klakson mobil dan motor
yang sangat berisik.
“Itu tuh sampah di got membuat banjir!” Enak
saja si Bapak berjas itu menyalahkan kami. Jelas-jelas manusia itu yang
membuang-buang sampah seenaknya. Mereka kira mereka itu manusia sempurna yang
tidak pernah punya salah, smpai menyalahkan lingkungan seenaknya.
Aku terus terombang-ambing di derasnya aliran
gorong-gorong. Sampai melaut di sungai sampah ini. Aku mengikuti aliran sampah
ini. Aku bau, kotor, dan orang pasti tak akan mau mengambilku. Aku tersangkut
rumput di bibir sungai yang kotor ini.
Seorang anak laki-laki perlahan-lahan
mendekatiku, langkahnya sangat berhati-hati, takut terperosok di sungai yang
bau dan kotor ini. Dia mengangkatku dan
membuang air yang mengisi tubuhku. Dia menjadikan aku kincir-kincir.
Hanya satu jam dia memainkan aku, lantas dia
menyimpanku di samping televisi hitam putih di rumahnya. Aku mengamati
sekelilingku. Tembok papan, lantai semen, berantakan. Tapi aku bahagia di sini,
taka da kesakitan lagi, yang ada hanya sepi.
Kadang separuh hatiku menyukai tempat ini, namun
separuh yang lain ingin kembali ke gorong-gorong yang bau itu. Aku hanya
dipajang di sini. Hanya dipajang. Apakah aku akan berakhir menjadi sebuah
pajangan?
Satu tahun, dua tahun berlalu. Aku tetap di
sini, berdebu, tidak pernah dilirik atau disentuh. Sepi. Aku kesepian. Di malam
yang senyap aku mendengar suara kayu terbakar. Rumah ini kebakaran, entah apa
penyebabnya. Si kecil sang penyelamatku hangus terbakar. Aku juga terbakar.
Meleleh lagi. Menjadi si hitam kecil yang tidak berguna. Tergeletak di antara
benda-benda hitam. Ternyata kebakaran malam tadi menghanguskan seisi rumah.
Aku hitam. Aku kecil. Aku tidak berguna lagi.
Jadilah aku si hitam kecil yang tidak berguna. Inilah garis kehidupan yang
diguratkan Tuhan kepadaku. Hidup tergantung lingkungan. Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Berbeda dengan manusia, hidup sesuai kemauan dan kepercayaan.
Aku si hitam kecil yang tidak berguna.
Seandainya aku bisa memilih ingin diciptakan jadi apa. Aku ingin menjadi bunga
edelweis. Seandainya aku bisa memilih hidup seperti apa. Aku ingin hidup
seperti berlian. Seandainya aku bisa memilih akan akhir hidupku seperti apa.
Aku ingin akhir hidupku sampai hari kiamat.
Aku si hitam kecil yang tidak berguna. Dalam
hidup ini banyak pilihan, namun sayang aku tak bisa memilih. Dalam hidup ini
banya ujian, namun ujian hidupku terlalu menyakitkan. Dalam hidup ini banyak
kebahagian yang diberikan Tuhan, namun sayang kebahagian yang aku terima hanya
1% dari kehidupanku.
Aku dulu polietilena tereflatat, dan akhir
hidupku menjadi si hitam kecil yang tidak berguna.
Nice ^^
BalasHapusKak mau nanya, cerpen karya kaka sudah ada beserta struktur cerpennya kak?
BalasHapus