Kasih Tak Sampai
Aku gadis berambut pendek yang bukan remaja lagi, yang
dahulu tak pernah mengenakan rok selain rok Sekolah, yang dahulu
mempercayai keajaiban cinta. Aku gadis yang tidak muda lagi. Usiaku menginjak
28. Aku terus merias diri di depan cermin. Mengingat kembali semua kejadian
di masa lampau. Di masa SMU yang bagai nano-nano. Mencari keajaiban lagi agar
aku bisa sekokoh karang. Mencari beribu alasan menguatkan hatiku.
Saat aku SMU, dulu, dahulu kala. Saat dimana aku mengagumi
seseorang. Saat semua ABG mulai merasa dewasa dengan urusan cinta mereka. Saat
itulah aku merasakannya juga. Harus aku bilang dialah, dialah orangnya. Lelaki
tinggi, tampan, ideal yang menjadi idaman semua murid SMU. Kulitnya bersih
bersinar kuning langsat. Dan jika terpapar sinar matahari, aduhai dia jauh
lebih keren dari yang aku bayangkan. Dan yang lebih penting, dia taat beragama.
Jangankan bersentuhan dengan teman-teman wanitanya, menatap mereka dalam-dalam saja
dia tak pernah. Aduhai benar-benar lelaki idaman semua gadis.
Dan harus aku akui, dulu aku pernah melakukan hal aneh yang
tidak mereka duga. Aku hanya mencintainya dalam diam. Aku tak berani,
sampai-sampai aku melakukan hal terbodoh dalam hidupku. Katanya ini adalah
mantra cinta, mantra cinta dari penulis favoritku.
Saat dia bersama teman-temannya di depan Laboratorium Fisika,
aku melewatinya. Berpapasan dengannya adalah hal indah yang aku rasakan kala
itu.
“Hai, Eko.” Aku mencoba menyapanya. Menunggu beberapa detik
dengan nafas tertahan, berharap dia menjawabnya.
“Hai.” Dia hanya menjawab hai dengan senyum menunduk. Iya,
itulah Eko.
Tepat saat kami sejajar, aku mulai menghitung banyaknya
keramik lantai yang harus aku lewati, karena aku sudah mengukur panjang keramik
di setiap sudut Sekolah. Berharap aku dapat berdiri sepuluh meter di
belakangnya. Ya, aku mendapat posisi yang aku inginkan. Tidak ramai.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka, menolehlah,” Aku
mulai berbisik dengan yakin entah pada siapa.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka menolehlah,” Bisikan
kedua aku sampaikan dengan penuh keyakinan.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka menolehlah.”
Selesai sudah aku bisikan kalimat itu dengan semakin yakin. Berharap dia akan
menoleh.
“Ekooo, dipanggil Pak Yulius di ruangannya.” Teriakan itu
berasal dari orang lain di belakangku. Eko menoleh. Ke arahku atau ke sumber suara
tadi? Ah aku mati kutu. Sedikit kaget, namun otakku langsung memerintahkan
bahwa aku harus berlari. Aku berlari secepat yang aku bisa.
“Wid, Andre sudah menunggu.” Ucap mama dengan di luar
kamarku.
“Iya, sebentar.”
Aku menuruni tangga menuju ruang tamu. Dengan wajah ber-make
up, dress selutut, dan tas selempang di tangan kananku. Ah lupa sepatuku.
Kembali ke kamar dan mengambil wedges setinggi lima sentimeter. Menuju ruang
tamu dengan senyum manis.
“Ma, aku berangkat dulu.”
“Lho kok ga makan dulu, nanti Andre kelaperan?”
“Kan di tempat reuni juga ada makanan. Oke ma, bye.” Aku dan
Andre mencium tangan Mamaku bergantian.
Aku dan Andre akan menghadiri reuni ke-10 kelulusan SMU-ku.
Kami pergi dengan Honda Jazz Andre. Dia membeli mobil ini setahun yang lalu
dengan uangnya sendiri penghasilan dari bimbingan belajar yang dikelolanya, ya
bimbel itu miliknya.
Andre memang lelaki baik. Aku dua tahun lebih muda darinya.
Dia putra rekan bisnis ayahku. Aku mulai mengenalnya sejak tiga tahun lalu di
pesta pernikahan kakaknya. Saat itu aku memang sedang stress. Ayah
mengenalkanku dengannya. Andre menemaniku melewati masa-masa kelam hatiku yang
terpuruk. Menemaniku di malam-malam dingin saat pericarditas itu memasukkanku ke Rumah Sakit. Aku selalu mencoba untuk mencintainya. Namun semakin aku mencoba,
semakin sulit aku melupakan perasaan itu.
Pesta reuni malam ini begitu meriah. Ramai. Teman-teman
banyak yang sudah datang.
“Wid, kenalin dong calonnya!” Suara Sarah mengagetkanku.
“Haaiii Sarah,” cipika-cipiki denganya, “Duuuh udah lama ga
ketemu, main dong ke rumah.” Aku menyalami suaminya, dan anaknya yang sudah
berusia lima tahun.
“Ah nanti aja kalau kamu nikah.”
“Ssst ah. Ini Andre.”
“Andre.” Andre menyalami tangan Sarah, suami Sarah dan
anaknya.
“Kapan nih, Dre? Undangannya ditunggu secepatnya.” Andre
tidak menjawab pertanyaan Sarah.
Seketika hatiku tercekat melihat sesosok lelaki yang
menggendong bayi laki-laki dari arah pintu masuk, dia ditemani wanita cantik
menuntun anak perempuan sekitar dua tahunan. Itukah keluarga kecilnya? Keluarga
yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Sampai sekarang, aku masih menyesali kejadian sepuluh tahun
yang lalu. Kejadian yang benar-benar mengubah cara berpikirku. Kejadian yang
harus aku terima lapang-lapang. Kejadian yang, ah sudahlah.
Kejadian saat hari kelulusan, di moment truth or dare. Aku
memilih dare. Karena aku berpikir berani lebih baik dari pada harus jujur
dengan pencitraan. Dan ketika tiba bagian Eko, dia memilih truth.
“Ada satu gadis yang membuat aku memikirkannya. Memikirkan
tingkahnya yang lucu. Aku tau itu salah, tapi aku tak akan menyalahkannya.
Karena akulah yang salah. Aku mengagumi Widya.” Itulah kalimat yang dia ucapkan
di hari kelulusan.
Aku berpikir seorang pria sejati akan menyatakan
kesungguhannya dihadapan keluargaku dan keluarganya. Aku selalu berharap
beberapa tahun setelah itu, dia datang. Datang dengan janji kehidupan yang bahagia.
Aku terus menunggu. Menunggu dengan penuh penantian. Aku tak pernah bosan untuk
menunggunya. Aku tak pernah lupa makan dan sholat, karena aku yakin dia yang
nun jauh di tempatnya selalu mengingatkanku dalam hatinya.
Aku tak pernah berhenti berharap dan menunggu datangnya hari
bahagia itu datang. Aku tak habis pikir kenapa aku sampai berpikir demikian.
Semua pikiranku terisi angan-angan janji kebahagiaan itu.
Sampai akhirnya, tiga tahun yang lalu datang sebuah surat.
Undangan pernikahannya. Saat itulah aku benar-benar menyesal atas apa yang aku
pikirkan selama tujuh tahun. Tujuh tahun yang aku habiskan untuk memikirkannya.
Tujuh tahun yang aku habiskan bermain dengan angan-angannya. Tujuh tahun yang
aku habiskan dengan sia-sia. Tujuh tahun aku tak pernah mendapat kabar
tentangnya namun aku yakin dia baik dan akan datang untukku. Dan tujuh tahun
itu benar-benar membekas lukanya. Luka yang terbentuk oleh goresan
angan-anganku selama tujuh tahun. Bukankah itu menyakitkan? Dan semua itu hanya
menjadi mimpi sia-sia.
Aku dihadapkan pada kenyataan yang memilukan. Kenyataan yang
membuatku bangun dari mimpi itu. Mimpi yang aku susun selama tujuh tahun.
Penyesalan. Hatiku semakin tercekat.
Aku pulang diantar Andre lagi. Esoknya aku izin tidak masuk
kantor. Teralu lelah untuk pergi. Aku memikirkan terus bagaimana. Bagaimana cara
mencintai Andre? Andre yang selalu menemaniku di masa-masa kelam itu. Andre
yang rela kembali ke Jakarta saat ada rapat pertambahan cabang bimbelnya di Semarang
karena aku masuk rumah sakit. Aku harus bagaimana? Hatiku masih tersimpan
dengan luka Eko selama ini. Bagaimana aku harus membukanya untuk Andre?
Aku memasang note di pintu kamar. Widya sudah sholat Ashar. Mau istirahat. Pericarditis itu membuatku
benar-benar istirahat. Dan kasihku tak tersampaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar