Sabtu, 23 Agustus 2014

Cerpen : Kasih Tak Sampai

Kali ini saya akan memposting cerpen buatan saya lagi. Sedang belajar menulis cerpen. Dear, Deanti Artika Maharani, semoga kamu tetap menunggu edelweisku :)

Kasih Tak Sampai

Aku gadis berambut pendek yang bukan remaja lagi, yang dahulu tak pernah mengenakan rok selain rok Sekolah, yang dahulu mempercayai keajaiban cinta. Aku gadis yang tidak muda lagi. Usiaku menginjak 28. Aku terus merias diri di depan cermin. Mengingat kembali semua kejadian di masa lampau. Di masa SMU yang bagai nano-nano. Mencari keajaiban lagi agar aku bisa sekokoh karang. Mencari beribu alasan menguatkan hatiku.
Saat aku SMU, dulu, dahulu kala. Saat dimana aku mengagumi seseorang. Saat semua ABG mulai merasa dewasa dengan urusan cinta mereka. Saat itulah aku merasakannya juga. Harus aku bilang dialah, dialah orangnya. Lelaki tinggi, tampan, ideal yang menjadi idaman semua murid SMU. Kulitnya bersih bersinar kuning langsat. Dan jika terpapar sinar matahari, aduhai dia jauh lebih keren dari yang aku bayangkan. Dan yang lebih penting, dia taat beragama. Jangankan bersentuhan dengan teman-teman wanitanya, menatap mereka dalam-dalam saja dia tak pernah. Aduhai benar-benar lelaki idaman semua gadis.
Dan harus aku akui, dulu aku pernah melakukan hal aneh yang tidak mereka duga. Aku hanya mencintainya dalam diam. Aku tak berani, sampai-sampai aku melakukan hal terbodoh dalam hidupku. Katanya ini adalah mantra cinta, mantra cinta dari penulis favoritku.
Saat dia bersama teman-temannya di depan Laboratorium Fisika, aku melewatinya. Berpapasan dengannya adalah hal indah yang aku rasakan kala itu.
“Hai, Eko.” Aku mencoba menyapanya. Menunggu beberapa detik dengan nafas tertahan, berharap dia menjawabnya.
“Hai.” Dia hanya menjawab hai dengan senyum menunduk. Iya, itulah Eko.
Tepat saat kami sejajar, aku mulai menghitung banyaknya keramik lantai yang harus aku lewati, karena aku sudah mengukur panjang keramik di setiap sudut Sekolah. Berharap aku dapat berdiri sepuluh meter di belakangnya. Ya, aku mendapat posisi yang aku inginkan. Tidak ramai.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka, menolehlah,” Aku mulai berbisik dengan yakin entah pada siapa.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka menolehlah,” Bisikan kedua aku sampaikan dengan penuh keyakinan.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka menolehlah.” Selesai sudah aku bisikan kalimat itu dengan semakin yakin. Berharap dia akan menoleh.
“Ekooo, dipanggil Pak Yulius di ruangannya.” Teriakan itu berasal dari orang lain di belakangku. Eko menoleh. Ke arahku atau ke sumber suara tadi? Ah aku mati kutu. Sedikit kaget, namun otakku langsung memerintahkan bahwa aku harus berlari. Aku berlari secepat yang aku bisa.
“Wid, Andre sudah menunggu.” Ucap mama dengan di luar kamarku.
“Iya, sebentar.”
Aku menuruni tangga menuju ruang tamu. Dengan wajah ber-make up, dress selutut, dan tas selempang di tangan kananku. Ah lupa sepatuku. Kembali ke kamar dan mengambil wedges setinggi lima sentimeter. Menuju ruang tamu dengan senyum manis.
“Ma, aku berangkat dulu.”
“Lho kok ga makan dulu, nanti Andre kelaperan?”
“Kan di tempat reuni juga ada makanan. Oke ma, bye.” Aku dan Andre mencium tangan Mamaku bergantian.
Aku dan Andre akan menghadiri reuni ke-10 kelulusan SMU-ku. Kami pergi dengan Honda Jazz Andre. Dia membeli mobil ini setahun yang lalu dengan uangnya sendiri penghasilan dari bimbingan belajar yang dikelolanya, ya bimbel itu miliknya.
Andre memang lelaki baik. Aku dua tahun lebih muda darinya. Dia putra rekan bisnis ayahku. Aku mulai mengenalnya sejak tiga tahun lalu di pesta pernikahan kakaknya. Saat itu aku memang sedang stress. Ayah mengenalkanku dengannya. Andre menemaniku melewati masa-masa kelam hatiku yang terpuruk. Menemaniku di malam-malam dingin saat pericarditas itu memasukkanku ke Rumah Sakit. Aku selalu mencoba untuk mencintainya. Namun semakin aku mencoba, semakin sulit aku melupakan perasaan itu.
Pesta reuni malam ini begitu meriah. Ramai. Teman-teman banyak yang sudah datang.
“Wid, kenalin dong calonnya!” Suara Sarah mengagetkanku.
“Haaiii Sarah,” cipika-cipiki denganya, “Duuuh udah lama ga ketemu, main dong ke rumah.” Aku menyalami suaminya, dan anaknya yang sudah berusia lima tahun.
“Ah nanti aja kalau kamu nikah.”
“Ssst ah. Ini Andre.”
“Andre.” Andre menyalami tangan Sarah, suami Sarah dan anaknya.
“Kapan nih, Dre? Undangannya ditunggu secepatnya.” Andre tidak menjawab pertanyaan Sarah.
Seketika hatiku tercekat melihat sesosok lelaki yang menggendong bayi laki-laki dari arah pintu masuk, dia ditemani wanita cantik menuntun anak perempuan sekitar dua tahunan. Itukah keluarga kecilnya? Keluarga yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Sampai sekarang, aku masih menyesali kejadian sepuluh tahun yang lalu. Kejadian yang benar-benar mengubah cara berpikirku. Kejadian yang harus aku terima lapang-lapang. Kejadian yang, ah sudahlah.
Kejadian saat hari kelulusan, di moment truth or dare. Aku memilih dare. Karena aku berpikir berani lebih baik dari pada harus jujur dengan pencitraan. Dan ketika tiba bagian Eko, dia memilih truth.
“Ada satu gadis yang membuat aku memikirkannya. Memikirkan tingkahnya yang lucu. Aku tau itu salah, tapi aku tak akan menyalahkannya. Karena akulah yang salah. Aku mengagumi Widya.” Itulah kalimat yang dia ucapkan di hari kelulusan.
Aku berpikir seorang pria sejati akan menyatakan kesungguhannya dihadapan keluargaku dan keluarganya. Aku selalu berharap beberapa tahun setelah itu, dia datang. Datang dengan janji kehidupan yang bahagia. Aku terus menunggu. Menunggu dengan penuh penantian. Aku tak pernah bosan untuk menunggunya. Aku tak pernah lupa makan dan sholat, karena aku yakin dia yang nun jauh di tempatnya selalu mengingatkanku dalam hatinya.
Aku tak pernah berhenti berharap dan menunggu datangnya hari bahagia itu datang. Aku tak habis pikir kenapa aku sampai berpikir demikian. Semua pikiranku terisi angan-angan janji kebahagiaan itu.
Sampai akhirnya, tiga tahun yang lalu datang sebuah surat. Undangan pernikahannya. Saat itulah aku benar-benar menyesal atas apa yang aku pikirkan selama tujuh tahun. Tujuh tahun yang aku habiskan untuk memikirkannya. Tujuh tahun yang aku habiskan bermain dengan angan-angannya. Tujuh tahun yang aku habiskan dengan sia-sia. Tujuh tahun aku tak pernah mendapat kabar tentangnya namun aku yakin dia baik dan akan datang untukku. Dan tujuh tahun itu benar-benar membekas lukanya. Luka yang terbentuk oleh goresan angan-anganku selama tujuh tahun. Bukankah itu menyakitkan? Dan semua itu hanya menjadi mimpi sia-sia.
Aku dihadapkan pada kenyataan yang memilukan. Kenyataan yang membuatku bangun dari mimpi itu. Mimpi yang aku susun selama tujuh tahun. Penyesalan. Hatiku semakin tercekat.
Aku pulang diantar Andre lagi. Esoknya aku izin tidak masuk kantor. Teralu lelah untuk pergi. Aku memikirkan terus bagaimana. Bagaimana cara mencintai Andre? Andre yang selalu menemaniku di masa-masa kelam itu. Andre yang rela kembali ke Jakarta saat ada rapat pertambahan cabang bimbelnya di Semarang karena aku masuk rumah sakit. Aku harus bagaimana? Hatiku masih tersimpan dengan luka Eko selama ini. Bagaimana aku harus membukanya untuk Andre?

Aku memasang note di pintu kamar. Widya sudah sholat Ashar. Mau istirahat. Pericarditis itu membuatku benar-benar istirahat. Dan kasihku tak tersampaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar