Selasa, 07 Oktober 2014

Cerpen : "Cerita Si Plastik"

Terima kasih sudah berkunjung di blog Quina.
Kali ini saya memposting sebuah cerpen *lagi. Karya Quina Fathonah *Ys, she's me*. Cerpen ini adalah cerpen yang aku kirimkan untuk perwakilan angkatan (dua karya/angkatan, satu karya yang lain milik temanku) pada lomba PORSIP (Pekan Olahraga, Seni dan Ilmu Pengetahuan) 2014. Meskipun ini PORSIP keduaku (bagi angkatan aku), inilah pertama kalinya aku berpartisipasi dalam ajang PORSIP. Dengan mengirimkan cerpen ini, Alhamdulillah menambah satu emas untuk angkatan. Meskipun bukan atas nama pribadi, aku tetap senang karena yaaa, orang lain juga tau rasanyalah. Hehe...
Setelah mendapat informasi cerpenku mendapat emas, aku bercerita ke mama, "Ma, cerpen dede dapet emas." Mama menjawab, "emas yang berapa karat?" Duuuh aku bingun kenapa malah tanya soal karat, "itu ma, emas-emasan, emasnya bentuknya daun dari kertas metalik." Dan mama pun sedikit kecewa, "Yah mama kira dapet kalung atau anting gitu."
Nah, oke ceritanya udahan. Sekarang dibaca cerpennya ya :) *meskipun rada panjang*

"Cerita Si Plastik”
Karya : Quina Fathonah
Aku hasil ekstrasi minyak bumi. Orang-orang menyebutku Polietilena Tereflatat atau mereka biasa menyingkat namaku menjadi PET. Dari proses ekstrasi tersebut bukan hanya aku yang keluar, tapi juga emisi gas rumah kaca yang merusak habitat dan racun ke lingkungan. Tetapi hanya aku yang dimanfaatkan oleh mereka, yang lainnya dibuang begitu saja ke lingkungan, sungguh jahat mereka.

Sehari setelahnya, aku dibawa ke tempat penyulingan. Namaku berubah menjadi Biji Plastik. Aku dipanaskan. Sungguh, ini benar-benar panas, mereka bilang suhunya 400 deajat celcius. Aku meleleh. Mungkin aku tak sadarkan diri sampai akhirnya aku dibekukan. Wujudku berubah.
Di antara kebisingan pabrik ini, ruang dalam tubuhku ditumpahi cairan kental berwarna merah muda. Baunya menyengat. Lalu aku diangkut ke dalam truk besar. Pintunya ditutup, dan gelap. Aku tidak tahu akan dibawa kemana.

Aku masuk toko. Cukup lama aku menginap di toko ini, sampai akhirnya seorang kakek tua membawaku ke rumahnya. Kakek itu memintaku dengan sebutan cat. Kakek itu membuka tutup tubuhku, lalu mengoleskan cairan yang menginap dalam tubuhku ke tembok.

“Kakek, catnya bagus warna merah jambu.” Teriak seorang anak kepada kakek tua yang tadi membawaku. Aku kira namaku Cat, tapi ternyata cat itu cairan yang menginap dalam tubuhku. Aku sedikit kecewa, aku tak punya nama.

“Kek, nanti ember catnya jangan dibuang ya!” pinta seorang nenek kepada kakek tua. Aku mulai berpikir, mungkin namaku Ember Cat. Senyumku kembali mengembang.

Aku disimpan bersama si Cat di gudang. Dikeluarkan setahun sekali. Setelah tiga tahun, Cat sudah ada di tembok semua. Aku sendiri. Kakek itu mengisi tubuhku dengan tanah sebagai media pohon mangga. Gatal, sungguh gatal. Aku hanya dapat bertahan tiga tahun, akar pohon mangga merusak tubuhku. Lalu si nenek membuangku ke tempat sampah.

Kini aku rusak, sakit sekali. Aku bersama sampah-sampah yang bau. Aku diangkut lagi dengan truk sampah. Ternyata sampah di rumah kakek belum seberapa, di sini aku melihat gunung sampah. Mengerikan sekali. Tapi sungguh, aku tak mau tinggal di sini. Walaupun di sini banyak teman, aku tetap tidak mau tinggal.

Setelah berhari-hari aku menahan sesak, sedih, sakit, akhirnya ada seorang Ibu dengan bayinya membawaku ke gerobaknya. Dia membersihkan aku dan teman-teman yang lain. Sungguh baik hati si Ibu ini. Lalu dia pergi ke suatu tempat, dan menukar kami dengan uang.

Mesin pencacah. Mereka membuatku seperti beras dengan mesin ini. Tubuhku dipotong-potong. Sungguh ini sangat sakit. Benar-benar sangat sakit, sampai akhirnya aku berontak. Saat separuh dari tubuhku sudah seperti biji beras, mesin itu mati. Ini lebih sakit, tertahan di mesin itu. Orang-orang itu memperbaiki mesinnya. Tuhan, tolong bantulah mereka agar mesin ini kembali bekerja, agar aku tak merasakan kesakitan lagi. Aku tahu, setelah ini pasti akan ada ujian lagi, namun aku selalu berharap agar kehidupanku berakhir saja, itu kuasa-Mu.

Setelah setengah jam mereka memperbaiki mesinya, separuh tubuhku yang belum tercacah dipotong-potong lagi. Sakit lagi. Aku diangkut lagi. Sepertinya aku mengenali tempat ini, iya ini tempat yang mengubah namaku menjadi Biji Plastik. Jika jalan hidupku harus seperti ini, aku terima.

Benar saja, aku dilelehkan dan menjadi biji plastik. Aku dilelehkan lagi, seperti fase kehidupanku yang dulu. Namun kali ini bentukku lebih kecil. Kali ini aku disterilkan dulu. Lalu, cairan hijau itu memasuki tubuhku. Cairannya sedikit berbeda dengan cairan merah jambu, yang ini berbau buah. Sekarang aku tidak punya pasangan tutup, tapi mereka menutupku dengan plastik yang mudah sobek. Aku dimasukkan ke dalam kardus. Dan diangkut lagi entah kemana.

Setelah berbulan-bulan menginap di kardus yang gelap, aku ditempatkan di lemari pendingin. Lalu ada seorang remaja mengambilku, dan merobek plastik di atasku, lalu memasukkan cairan ke dalam mulutnya. Setengah isinya tidak dia habiskan, dia membuang aku dan si cairan begitu saja ke trotoar jalan.

Sungguh malas sekali manusia itu. Membuangku ke tempat sampah saja tidak bisa. Menggunakan aku hanya beberapa saat saja, lantas menganggapku sampah. Padahal aku masih bisa digunakan. Lihatlah pengamen jalanan itu, mengaitkan temanku di gitarnya sebagai wadah receh upah menyanyi. Lihatlah anak kecil itu, menjadikan aku temannya yang menarik, mengubah temanku menjadi kincir-kincir. Lihatlah ibu penjual kopi itu, dia menjadikan temanku tempat minum. Dan lihatlah pemulung itu, pemulung? Pak di sini, Pak! Sekencang-kencangnya aku berteriak mereka tak akan mendengarku. Namun malang nasib si Bapak, ketika hendak menyebrang dia terserempet motor. Jadilah aku tetap di sini, di trotoar yang amat panas.

Sore harinya, hujan turun sangat lebat, petir menggelegar di sana-sini. Air yang jatuh dari langit menyeretku jatuh ke gorong-gorong. Baunya sangat tidak enak. Di sini aku bertemu dengan banyak sampah, sampai akhirnya kami tersangkut dan menumpuk di salah satu sudut gorong-gorong. Gorong-gorong penuh dengan air dan sampah, sepertinya air sudah meluap ke jalanan. Dari sini aku dapat mendengar suara klakson mobil dan motor yang sangat berisik.

“Itu tuh sampah di got membuat banjir!” Enak saja si Bapak berjas itu menyalahkan kami. Jelas-jelas manusia itu yang membuang-buang sampah seenaknya. Mereka kira mereka itu manusia sempurna yang tidak pernah punya salah, smpai menyalahkan lingkungan seenaknya.

Aku terus terombang-ambing di derasnya aliran gorong-gorong. Sampai melaut di sungai sampah ini. Aku mengikuti aliran sampah ini. Aku bau, kotor, dan orang pasti tak akan mau mengambilku. Aku tersangkut rumput di bibir sungai yang kotor ini.

Seorang anak laki-laki perlahan-lahan mendekatiku, langkahnya sangat berhati-hati, takut terperosok di sungai yang bau  dan kotor ini. Dia mengangkatku dan membuang air yang mengisi tubuhku. Dia menjadikan aku kincir-kincir.

Hanya satu jam dia memainkan aku, lantas dia menyimpanku di samping televisi hitam putih di rumahnya. Aku mengamati sekelilingku. Tembok papan, lantai semen, berantakan. Tapi aku bahagia di sini, taka da kesakitan lagi, yang ada hanya sepi.

Kadang separuh hatiku menyukai tempat ini, namun separuh yang lain ingin kembali ke gorong-gorong yang bau itu. Aku hanya dipajang di sini. Hanya dipajang. Apakah aku akan berakhir menjadi sebuah pajangan?
Satu tahun, dua tahun berlalu. Aku tetap di sini, berdebu, tidak pernah dilirik atau disentuh. Sepi. Aku kesepian. Di malam yang senyap aku mendengar suara kayu terbakar. Rumah ini kebakaran, entah apa penyebabnya. Si kecil sang penyelamatku hangus terbakar. Aku juga terbakar. Meleleh lagi. Menjadi si hitam kecil yang tidak berguna. Tergeletak di antara benda-benda hitam. Ternyata kebakaran malam tadi menghanguskan seisi rumah.

Aku hitam. Aku kecil. Aku tidak berguna lagi. Jadilah aku si hitam kecil yang tidak berguna. Inilah garis kehidupan yang diguratkan Tuhan kepadaku. Hidup tergantung lingkungan. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Berbeda dengan manusia, hidup sesuai kemauan dan kepercayaan.

Aku si hitam kecil yang tidak berguna. Seandainya aku bisa memilih ingin diciptakan jadi apa. Aku ingin menjadi bunga edelweis. Seandainya aku bisa memilih hidup seperti apa. Aku ingin hidup seperti berlian. Seandainya aku bisa memilih akan akhir hidupku seperti apa. Aku ingin akhir hidupku sampai hari kiamat.
Aku si hitam kecil yang tidak berguna. Dalam hidup ini banyak pilihan, namun sayang aku tak bisa memilih. Dalam hidup ini banya ujian, namun ujian hidupku terlalu menyakitkan. Dalam hidup ini banyak kebahagian yang diberikan Tuhan, namun sayang kebahagian yang aku terima hanya 1% dari kehidupanku.


Aku dulu polietilena tereflatat, dan akhir hidupku menjadi si hitam kecil yang tidak berguna.

Sabtu, 23 Agustus 2014

Cerpen : Kasih Tak Sampai

Kali ini saya akan memposting cerpen buatan saya lagi. Sedang belajar menulis cerpen. Dear, Deanti Artika Maharani, semoga kamu tetap menunggu edelweisku :)

Kasih Tak Sampai

Aku gadis berambut pendek yang bukan remaja lagi, yang dahulu tak pernah mengenakan rok selain rok Sekolah, yang dahulu mempercayai keajaiban cinta. Aku gadis yang tidak muda lagi. Usiaku menginjak 28. Aku terus merias diri di depan cermin. Mengingat kembali semua kejadian di masa lampau. Di masa SMU yang bagai nano-nano. Mencari keajaiban lagi agar aku bisa sekokoh karang. Mencari beribu alasan menguatkan hatiku.
Saat aku SMU, dulu, dahulu kala. Saat dimana aku mengagumi seseorang. Saat semua ABG mulai merasa dewasa dengan urusan cinta mereka. Saat itulah aku merasakannya juga. Harus aku bilang dialah, dialah orangnya. Lelaki tinggi, tampan, ideal yang menjadi idaman semua murid SMU. Kulitnya bersih bersinar kuning langsat. Dan jika terpapar sinar matahari, aduhai dia jauh lebih keren dari yang aku bayangkan. Dan yang lebih penting, dia taat beragama. Jangankan bersentuhan dengan teman-teman wanitanya, menatap mereka dalam-dalam saja dia tak pernah. Aduhai benar-benar lelaki idaman semua gadis.
Dan harus aku akui, dulu aku pernah melakukan hal aneh yang tidak mereka duga. Aku hanya mencintainya dalam diam. Aku tak berani, sampai-sampai aku melakukan hal terbodoh dalam hidupku. Katanya ini adalah mantra cinta, mantra cinta dari penulis favoritku.
Saat dia bersama teman-temannya di depan Laboratorium Fisika, aku melewatinya. Berpapasan dengannya adalah hal indah yang aku rasakan kala itu.
“Hai, Eko.” Aku mencoba menyapanya. Menunggu beberapa detik dengan nafas tertahan, berharap dia menjawabnya.
“Hai.” Dia hanya menjawab hai dengan senyum menunduk. Iya, itulah Eko.
Tepat saat kami sejajar, aku mulai menghitung banyaknya keramik lantai yang harus aku lewati, karena aku sudah mengukur panjang keramik di setiap sudut Sekolah. Berharap aku dapat berdiri sepuluh meter di belakangnya. Ya, aku mendapat posisi yang aku inginkan. Tidak ramai.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka, menolehlah,” Aku mulai berbisik dengan yakin entah pada siapa.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka menolehlah,” Bisikan kedua aku sampaikan dengan penuh keyakinan.
“Pram kedumbyar, panci basah. Kalau dia suka menolehlah.” Selesai sudah aku bisikan kalimat itu dengan semakin yakin. Berharap dia akan menoleh.
“Ekooo, dipanggil Pak Yulius di ruangannya.” Teriakan itu berasal dari orang lain di belakangku. Eko menoleh. Ke arahku atau ke sumber suara tadi? Ah aku mati kutu. Sedikit kaget, namun otakku langsung memerintahkan bahwa aku harus berlari. Aku berlari secepat yang aku bisa.
“Wid, Andre sudah menunggu.” Ucap mama dengan di luar kamarku.
“Iya, sebentar.”
Aku menuruni tangga menuju ruang tamu. Dengan wajah ber-make up, dress selutut, dan tas selempang di tangan kananku. Ah lupa sepatuku. Kembali ke kamar dan mengambil wedges setinggi lima sentimeter. Menuju ruang tamu dengan senyum manis.
“Ma, aku berangkat dulu.”
“Lho kok ga makan dulu, nanti Andre kelaperan?”
“Kan di tempat reuni juga ada makanan. Oke ma, bye.” Aku dan Andre mencium tangan Mamaku bergantian.
Aku dan Andre akan menghadiri reuni ke-10 kelulusan SMU-ku. Kami pergi dengan Honda Jazz Andre. Dia membeli mobil ini setahun yang lalu dengan uangnya sendiri penghasilan dari bimbingan belajar yang dikelolanya, ya bimbel itu miliknya.
Andre memang lelaki baik. Aku dua tahun lebih muda darinya. Dia putra rekan bisnis ayahku. Aku mulai mengenalnya sejak tiga tahun lalu di pesta pernikahan kakaknya. Saat itu aku memang sedang stress. Ayah mengenalkanku dengannya. Andre menemaniku melewati masa-masa kelam hatiku yang terpuruk. Menemaniku di malam-malam dingin saat pericarditas itu memasukkanku ke Rumah Sakit. Aku selalu mencoba untuk mencintainya. Namun semakin aku mencoba, semakin sulit aku melupakan perasaan itu.
Pesta reuni malam ini begitu meriah. Ramai. Teman-teman banyak yang sudah datang.
“Wid, kenalin dong calonnya!” Suara Sarah mengagetkanku.
“Haaiii Sarah,” cipika-cipiki denganya, “Duuuh udah lama ga ketemu, main dong ke rumah.” Aku menyalami suaminya, dan anaknya yang sudah berusia lima tahun.
“Ah nanti aja kalau kamu nikah.”
“Ssst ah. Ini Andre.”
“Andre.” Andre menyalami tangan Sarah, suami Sarah dan anaknya.
“Kapan nih, Dre? Undangannya ditunggu secepatnya.” Andre tidak menjawab pertanyaan Sarah.
Seketika hatiku tercekat melihat sesosok lelaki yang menggendong bayi laki-laki dari arah pintu masuk, dia ditemani wanita cantik menuntun anak perempuan sekitar dua tahunan. Itukah keluarga kecilnya? Keluarga yang membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Sampai sekarang, aku masih menyesali kejadian sepuluh tahun yang lalu. Kejadian yang benar-benar mengubah cara berpikirku. Kejadian yang harus aku terima lapang-lapang. Kejadian yang, ah sudahlah.
Kejadian saat hari kelulusan, di moment truth or dare. Aku memilih dare. Karena aku berpikir berani lebih baik dari pada harus jujur dengan pencitraan. Dan ketika tiba bagian Eko, dia memilih truth.
“Ada satu gadis yang membuat aku memikirkannya. Memikirkan tingkahnya yang lucu. Aku tau itu salah, tapi aku tak akan menyalahkannya. Karena akulah yang salah. Aku mengagumi Widya.” Itulah kalimat yang dia ucapkan di hari kelulusan.
Aku berpikir seorang pria sejati akan menyatakan kesungguhannya dihadapan keluargaku dan keluarganya. Aku selalu berharap beberapa tahun setelah itu, dia datang. Datang dengan janji kehidupan yang bahagia. Aku terus menunggu. Menunggu dengan penuh penantian. Aku tak pernah bosan untuk menunggunya. Aku tak pernah lupa makan dan sholat, karena aku yakin dia yang nun jauh di tempatnya selalu mengingatkanku dalam hatinya.
Aku tak pernah berhenti berharap dan menunggu datangnya hari bahagia itu datang. Aku tak habis pikir kenapa aku sampai berpikir demikian. Semua pikiranku terisi angan-angan janji kebahagiaan itu.
Sampai akhirnya, tiga tahun yang lalu datang sebuah surat. Undangan pernikahannya. Saat itulah aku benar-benar menyesal atas apa yang aku pikirkan selama tujuh tahun. Tujuh tahun yang aku habiskan untuk memikirkannya. Tujuh tahun yang aku habiskan bermain dengan angan-angannya. Tujuh tahun yang aku habiskan dengan sia-sia. Tujuh tahun aku tak pernah mendapat kabar tentangnya namun aku yakin dia baik dan akan datang untukku. Dan tujuh tahun itu benar-benar membekas lukanya. Luka yang terbentuk oleh goresan angan-anganku selama tujuh tahun. Bukankah itu menyakitkan? Dan semua itu hanya menjadi mimpi sia-sia.
Aku dihadapkan pada kenyataan yang memilukan. Kenyataan yang membuatku bangun dari mimpi itu. Mimpi yang aku susun selama tujuh tahun. Penyesalan. Hatiku semakin tercekat.
Aku pulang diantar Andre lagi. Esoknya aku izin tidak masuk kantor. Teralu lelah untuk pergi. Aku memikirkan terus bagaimana. Bagaimana cara mencintai Andre? Andre yang selalu menemaniku di masa-masa kelam itu. Andre yang rela kembali ke Jakarta saat ada rapat pertambahan cabang bimbelnya di Semarang karena aku masuk rumah sakit. Aku harus bagaimana? Hatiku masih tersimpan dengan luka Eko selama ini. Bagaimana aku harus membukanya untuk Andre?

Aku memasang note di pintu kamar. Widya sudah sholat Ashar. Mau istirahat. Pericarditis itu membuatku benar-benar istirahat. Dan kasihku tak tersampaikan.

Tegar dan Dira

Lagi pengen belajar bikin cerpen, dan ada ide buat bikin, jadilah ini. Sebenarnya ini juga atas inspirasi dari Wendi Litami. Kalu bukan dari dia, saya ga bikin cerpen ini, dan saya mulai belajar.


Tegar dan Dira

“Aaahhhhh kamu jahat, Din! Dasar PHP! Dasar cowo labil! Dasar cowo yang ngga punya hati!” Dira terus memaki Udin, cowo yang ditaksirnya sejak semester 2. Dia terus menangis di kamar kostannya yang hanya berukuran 3 kali 3 meter ditemani dua teman dekatnya.
 Kling-kling-kling. Pesan WhatsApp ponsel Dira terus berbunyi.
“Udah, Dir. Jangan nangis terus ih! Makan ayok.” Winny, teman kostan Dira mencoba menenangkannya.
“Ga usah dengerin Fanny, Dir. Kalau emang lu mau nangis, nangis aja. Setidaknya nangis bikin hati lu rada ringan. Weanya ga usah dibuka aja.” Vie, teman kostannya yang lain kontra dengan ucapan Winny.
“Yaudah, gue mau beli makan. Mau nitip ga?”
“Lele bakar, Win.” Vie mengalihkan pandangannya kea rah Dira, “Dir, lu mau makan apa?”
Dira menggeleng, “Ga mau makan.”
“Diiiir, plis deh. Gue tau hati lu lagi sakit, tapi jangan sampe tubuh lu juga sakit.”
“Ya udah, Win. Beliin lele bakar juga buat Dira.” Vie menjawab pernyataan yang ditujukan untuk Dira.
Kreeek. Suara pintu tua kamar Dira terdengar keras saat Winny membuka dan menutup pintu. Drrrrttt… drrrrttt. Ponsel Vie bergetar, ada telpon dari Ane, temannya juga. Vie segera mengangkat telpon dari Ane.
“Hallo, Vie. Dira kenapa? Dia baik-baik aja kan?” Suara Ane di ujung telpon mendahului Vie yang sudah membuka mulutnya.
“Pelan-pelan, Ne. Dira baik, tapi dia cengeng.”
“Aku ga cengeng, Cuma nangis!” Dira mencela ucapan Vie.
“Dira bilang dia ga cengeng, tapi Cuma nangis.” Ucap Vie dalam telponnya.
“Gua pengen ngomong sama Dira.” Pinta Ane. Vie segera mengoper ponselnya ke tangan Dira.
“Hallo, Ne.” Ucap Dira dengan suara terisak.
“Dir, coba deh lu jelasin.”
“Jelasin apa, Ne?”
Vie merebut ponselnya dari tangan Dira, “Ne, lu gila ya. Temen lu lagi sedih, malah lu Tanya kenapa!”
“Sorry, Vi. Tadi kan gua langsung pulang ke rumah. Gua juga temennya Dira, dan gua juga pengen tau kenapa. Siapa tau gua bisa bantu, walaupun engga ril.” Ane mencoba membela diri.
“Kalau keadaannya lagi kaya gini, lu ga bisa tanya Dira secara langsung juga. Karena Dira juga butuh ketenangan.”
“Ya udah, sekarang coba lu aja deh yang jelasin.”
“Lu mikir dikit napa, Ne! Harus gua jelasin kenapa gue ngomong kaya gini?” dada Dira menegang ketika mendengar ucapan Vie yang sedikit emosi.
“Sini Vi, biar Dira aja yang ngomong sama Ane. Dira ga mau kalian berantem gara-gara Dira.” Vie memberikan ponselnya ke Dira. “Ne, Ane mau tau kenapa Dira nangis?”
“Iya, tapi kalau lu ga bisa cerita sekarang juga nanti aja.”
“Engga ko, Dira bisa cerita sekarang. Ane tau kan Dira deket sama Udin? Ane tau kan, Dira punya perasaan yang beda? Ane juga tau kan gimana sikap dia ke Dira? Ane, Vie, Winny pasti udah tau karena Dira sering cerita. Ane juga bisa ngerti kan itulah Dira yang pertama kali kaya gitu? Dira yang sedang jatuh cinta, tau-taunya jatuh beneran.”
“Maksudnya jatuh beneran?”
“Dira beneran jatuh ke lubangnya cinta. Seharusnya dari awal Dira bilang bangkitkan cinta, bukan jatuhkan cinta. Tadi sore Udin ngajak Dira ke taman deket Sekolah. Dira pikir dia mau nyatain cinta ke Dira, tapi Dira malah ditembak. Di sana juga ada Rara. Dan, dia bilang biar Dira tau siapa cewe yang dia suka. Dia malah ucap cinta ke Rara, dan Dira beneran ditembak. Hati Dira beneran ditembak sama dia, sampe bolong dan sakit banget.”
“Jadi intinya, Udin cuma ngasih harkos?”
“Engga gitu juga sih. Mungkin Diranya yang terlalu seneng sampe salah mengartikan semua hal dari Udin, dalam kata lain kegeeren.”
“Oooh, kalau udah gitu kan gua tau apa yang lu tangisin. Mungkin Udin memang bukan buat lu, tapi kalau dia memang dia buat lu nanti juga dipertemukan kembali. Dan kalau bukan, lu juga pasti bakal dapet yang jauh lebih baik dari dia. Lu itu cantik luar dalem dan bukan pencitraan. Ayo, cheer up, dear!”
“Iya, Ne. Makasih banyak. Lavyu.”
Dira memang dikenal sebagai gadis yang ceria. Setelah malam itu, keceriaanya kembali. Untuk menghibur Dira, teman-teman dekatnya selalu mengajak jalan ke mall, nonton di bioskop, photo box, main games, dan hal-hal yang membuat Dira tertawa lebar. Mereka seperti remaja yang kembali ke masa kealayan terjadi.
Dira memang tersenyum. Dira memang tertawa. Dira melakukan semuanya dengan ceria. Tetapi dalam hatinya masih memikirkan hal itu. Hatinya jelas telah mengukir kenangan dengan Udin. Hatinya terang-benderang dihalangi oleh kabut cintanya pada Udin. Namun, dia tahu kapan harus tersenyum dan kapan harus muram.

Setelah hari-hari itu, Dira mengaku bahwa dirinya harus menjadi Dira yang dulu. Seperti kata Ane, cantik luar dalam tanpa pencitraan. Dia menjadi gadis yang kuat dan pemberani tanpa kesedihan. Dia sadar, bahwa kebahagiaanya lebih berharga dari pada setitik debu yang kotor. Dia selalu mengatakan bahwa ketegarannya akan selalu menjadi Dira yang Dira dan orang lain inginkan.

Jumat, 22 Agustus 2014

Saat Pelajaran Kimia Anorganik

Tugas-tugas-dan tugaaas. Resiko menjadi pelajar, hidupnya dihalangi tugas. Kebahagiaannya direngut oleh tugas. Tugas-tugas-oh tugasku tersayang. Apakah engkau masih menemaniku? apakah engkau rela mati bersamaku? Apakah engkau harus selalu ada untukku? Oh tugas pergilah, datanglah lain hari.
Ngomong-ngomong tentang tugas. Tugas ya? Oh tugas. Oh baiklah, kalau boleh jujur, saya senang diberi tugas, tapi tugasnya yang simple-simpel aja. Ya contohnya tugas kimia anorganik ini.
Sebenernya, saya sukanya kimia anorganik itu karena setiap minggu ada tugas individu yang menurut saya ga susah. Tinggal googling, salin kalimatnya, selesailah si tugas itu. Tapi kebanyakan teman-teman cuma nyalin dari buku teman yang sudah ngerjain sepuluh menit, eh bahkan lima menit sebelum bel pelajaran.
Tapi yaaaa, ada tapinya niih. Saya kurang nyaman sama ibu gurunya. Kenapa? Karena suaranya terlalu lemah lembut dan gemulai, seolah-olah sedang bimbingan konseling dengan satu orang di ruangan tertutup yang super sempit. Menurut saya, suaranya tidak berenergi.
Tapi yaaa saya mah senang-senang aja. Kalau focus ke guru yang sedang menjelaskan pasti ada celah untuk mengerti. Oke, ini salah satu tugas yang beliau berikan. Mencari definisi dari aquadest, aquabides, aquademin, aquaboiler, dan air filtrasi. Setelah saya googling, ini dia…

Aquades (aqua destilasi) adalah air hasil destilasi atau penyulingan.
Aquabides (aqua bi destilasi) adalah air yang melalui penyulingan dua kali, atau air yang melalui proses penyulingan bertingkat, atau hasil penyulingan dari aquades,
Aquademin adalah air bebas mineral, baik ion positif yang berasal dari logam (Fe, Mg, dll) dan kesadahan, maupun ion negative yang berasal dari udara (Hidrogen, sulfur, dll) serta memenuhi persyaratan mikroorganisme tertentu.
Aquaboiler. Saya belum menemukan penjelasan tentang aquaboiler, tapi saya mepresepsikan sendiri apa itu aquaboiler. Aqua = air, boiler = ketel. Boiler adalah alat penghasil uap (buka di sini). Jadi mungkin, aquaboiler adalah air hasil penguapan (nanti saya tanyakan guru saya).
Air filtrasi adalah air yang diproses melalui proses penyariangan, ada yang ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan ion positif dan ion negative, ada pula yang ditujukan untuk menyaring mikroorganisme.

Rabu, 25 Juni 2014

Tidak Ada Perpisahan Di Antara Kita

Aku kembali bingung. Aku bingung harus bagaimana berbicara kepada mereka. Mereka yang aku sayangi. Mereka yang bersamaku selama setahun ini. Mereka yang selalu membuat harapan-harapan. Mereka yang selalu memekarkan senyuman.
Walaupun… mereka buat harapan palsu. Mereka buat senyum palsu. Mereka buat hal-hal menjengkelkan. Mereka buat kekecewaan. Mereka buat kesakitan di hati. Mereka buat kerempongan semata. Mereka buat kelas gaduh.
Tapi benar sulit mengatakan hal ini. Berita yang mungkin mengecewakan atau mungkin hanya sebuah berita biasa.
Jujur, aku anak yang penurut. Aku anak yang jarang menentang kehendak orang tua. Jika orang tua berkata ‘ini’, aku akan ‘ini’ juga. Jika aku ingin ‘itu’, aku coba katakan ‘itu’. Jika dipinta alasan, aku akan menjawab alasannya. Jika syarat memilih ‘ini’ jelas tidak ada pada pilihan ‘itu’ dan akan mengkhawatirkan, aku kalah. Aku menurut, aku pilih ‘ini’.
Pada masalah ini, jelas aku yang kalah. Mata masih sakit, tubuh kurang fit. Pendamping belum jelas. Apalagi bapak bilang, “Ga usah ikut dulu ya, bapak kan baru sembuh, takut kepikiran, khawatir.” Itu kenyataan yang aku alami. Kenyataan yang tidak memenuhi syarat perizinan dari orang tua.
Acara ini berharga bagiku. Aku sangat ingin berpartisipasi, tapi sayang, keadaan tak mendukungku. Acara perpisahan mereka bilang. Diadakan di salah satu villa di daerang Mega Mendung, Bogor. Tanggal 26-27 Juni 2014.
Bagiku tidak ada perpisahan di antara kita (11-4). Bukan aku tidak solid. Bukan aku tidak ingin. Bukan aku tidak suka. Bukan aku tidak menghargai kalian. Bukan aku tak ingin bersama kalian. Bukan, sungguh bukan.
Sungguh, aku menyayangi kalian. Tapi sayangku kepada orang tuaku lebih besar, daripada untuk kalian. Tentu kalian juga begitu. Maaf. Sungguh aku minta maaf. Tapi aku bingung bagaimana harus membicarakan hal ini.