Tegar dan Dira
“Aaahhhhh kamu jahat, Din! Dasar PHP! Dasar cowo labil!
Dasar cowo yang ngga punya hati!” Dira terus memaki Udin, cowo yang ditaksirnya
sejak semester 2. Dia terus menangis di kamar kostannya yang hanya berukuran 3
kali 3 meter ditemani dua teman dekatnya.
Kling-kling-kling. Pesan WhatsApp ponsel Dira
terus berbunyi.
“Udah, Dir. Jangan nangis terus ih! Makan ayok.” Winny,
teman kostan Dira mencoba menenangkannya.
“Ga usah dengerin Fanny, Dir. Kalau emang lu mau nangis,
nangis aja. Setidaknya nangis bikin hati lu rada ringan. Weanya ga usah dibuka
aja.” Vie, teman kostannya yang lain kontra dengan ucapan Winny.
“Yaudah, gue mau beli makan. Mau nitip ga?”
“Lele bakar, Win.” Vie mengalihkan pandangannya kea rah Dira,
“Dir, lu mau makan apa?”
Dira menggeleng, “Ga mau makan.”
“Diiiir, plis deh. Gue tau hati lu lagi sakit, tapi
jangan sampe tubuh lu juga sakit.”
“Ya udah, Win. Beliin lele bakar juga buat Dira.” Vie
menjawab pernyataan yang ditujukan untuk Dira.
Kreeek. Suara pintu tua kamar Dira terdengar keras saat
Winny membuka dan menutup pintu. Drrrrttt… drrrrttt. Ponsel Vie bergetar, ada telpon
dari Ane, temannya juga. Vie segera mengangkat telpon dari Ane.
“Hallo, Vie. Dira kenapa? Dia baik-baik aja kan?” Suara
Ane di ujung telpon mendahului Vie yang sudah membuka mulutnya.
“Pelan-pelan, Ne. Dira baik, tapi dia cengeng.”
“Aku ga cengeng, Cuma nangis!” Dira mencela ucapan Vie.
“Dira bilang dia ga cengeng, tapi Cuma nangis.” Ucap Vie
dalam telponnya.
“Gua pengen ngomong sama Dira.” Pinta Ane. Vie segera
mengoper ponselnya ke tangan Dira.
“Hallo, Ne.” Ucap Dira dengan suara terisak.
“Dir, coba deh lu jelasin.”
“Jelasin apa, Ne?”
Vie merebut ponselnya dari tangan Dira, “Ne, lu gila ya.
Temen lu lagi sedih, malah lu Tanya kenapa!”
“Sorry, Vi. Tadi kan gua langsung pulang ke rumah. Gua
juga temennya Dira, dan gua juga pengen tau kenapa. Siapa tau gua bisa bantu,
walaupun engga ril.” Ane mencoba membela diri.
“Kalau keadaannya lagi kaya gini, lu ga bisa tanya Dira
secara langsung juga. Karena Dira juga butuh ketenangan.”
“Ya udah, sekarang coba lu aja deh yang jelasin.”
“Lu mikir dikit napa, Ne! Harus gua jelasin kenapa gue
ngomong kaya gini?” dada Dira menegang ketika mendengar ucapan Vie yang sedikit
emosi.
“Sini Vi, biar Dira aja yang ngomong sama Ane. Dira ga
mau kalian berantem gara-gara Dira.” Vie memberikan ponselnya ke Dira. “Ne, Ane
mau tau kenapa Dira nangis?”
“Iya, tapi kalau lu ga bisa cerita sekarang juga nanti
aja.”
“Engga ko, Dira bisa cerita sekarang. Ane tau kan Dira deket
sama Udin? Ane tau kan, Dira punya perasaan yang beda? Ane juga tau kan gimana
sikap dia ke Dira? Ane, Vie, Winny pasti udah tau karena Dira sering cerita.
Ane juga bisa ngerti kan itulah Dira yang pertama kali kaya gitu? Dira yang
sedang jatuh cinta, tau-taunya jatuh beneran.”
“Maksudnya jatuh beneran?”
“Dira beneran jatuh ke lubangnya cinta. Seharusnya dari
awal Dira bilang bangkitkan cinta, bukan jatuhkan cinta. Tadi sore Udin ngajak
Dira ke taman deket Sekolah. Dira pikir dia mau nyatain cinta ke Dira, tapi Dira
malah ditembak. Di sana juga ada Rara. Dan, dia bilang biar Dira tau siapa cewe
yang dia suka. Dia malah ucap cinta ke Rara, dan Dira beneran ditembak. Hati
Dira beneran ditembak sama dia, sampe bolong dan sakit banget.”
“Jadi intinya, Udin cuma ngasih harkos?”
“Engga gitu juga sih. Mungkin Diranya yang terlalu
seneng sampe salah mengartikan semua hal dari Udin, dalam kata lain kegeeren.”
“Oooh, kalau udah gitu kan gua tau apa yang lu tangisin.
Mungkin Udin memang bukan buat lu, tapi kalau dia memang dia buat lu nanti juga
dipertemukan kembali. Dan kalau bukan, lu juga pasti bakal dapet yang jauh
lebih baik dari dia. Lu itu cantik luar dalem dan bukan pencitraan. Ayo, cheer
up, dear!”
“Iya, Ne. Makasih banyak. Lavyu.”
Dira memang dikenal sebagai gadis yang ceria. Setelah malam
itu, keceriaanya kembali. Untuk menghibur Dira, teman-teman dekatnya selalu
mengajak jalan ke mall, nonton di bioskop, photo box, main games, dan hal-hal
yang membuat Dira tertawa lebar. Mereka seperti remaja yang kembali ke masa
kealayan terjadi.
Dira memang tersenyum. Dira memang tertawa. Dira
melakukan semuanya dengan ceria. Tetapi dalam hatinya masih memikirkan hal itu.
Hatinya jelas telah mengukir kenangan dengan Udin. Hatinya terang-benderang
dihalangi oleh kabut cintanya pada Udin. Namun, dia tahu kapan harus tersenyum
dan kapan harus muram.
Setelah hari-hari itu, Dira mengaku bahwa dirinya harus
menjadi Dira yang dulu. Seperti kata Ane, cantik luar dalam tanpa pencitraan.
Dia menjadi gadis yang kuat dan pemberani tanpa kesedihan. Dia sadar, bahwa kebahagiaanya lebih berharga dari pada setitik debu yang kotor. Dia selalu
mengatakan bahwa ketegarannya akan selalu menjadi Dira yang Dira dan orang lain
inginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar